Sebuah Rasa Pemicu Karya

Farid Shan (itoday/Iqbal)

Catatan Perjalanan Iqbal Setyarso di Somalia (10)


itoday
– Berkesenian, aktivitas yang lahir dari kebebasan batin. Tak terbayangkan, seorang seniman bisa berkarya dalam suasana batin tertekan. Tak ada seni dalam ketertekanan. Bagaimana dengan Farid, pelukis sketsa pendukung tim kemanusiaan KISS-III? Sejak masuk wilayah Somalia, ia menghadapi kendala serius yang nyaris membunuh kreativitasnya.

Lahir di lingkungan keluarga pendidik, membuat Farid hidup dalam suasana batin teratur dan berdisiplin tinggi. Ayahnya alm, penilik sekolah, ibunya guru – keduanya kini sudah pensiun, membentuk jiwa seorang Farid Shan pribadi yang berwawasan luas. Satu hal yang sempat membuat Farid  dengan bapaknya, Shanhaji, bersitegang: pilihan Farid menekuni senirupa. Sang bapak keberatan, ragu akan prospek berkesenian bisa untuk menyambung hidup.

“Rezeki itu dari Allah. Ayah dan ibu bisa menghidupi saya dan saudara-saudara saya, bukan karena menjadi guru, tapi karena Allah memberi rezeki melalui pekerjaan itu. Jadi apa pun saya nanti, apapun usaha saya, rezekinya tergantung Allah juga. Saya yakin Allah akan memberi saya rezeki, seperti juga Allah memberi rezeki untuk bapak dan ibu,” kata Farid mengenang arguentasinya ketika menghadapi keberatan sang Bapak. “Sejak itu, bapak saya tak pernah lagi menyoal pilihan saya,” ujar lelaki kelahiran Bangkalan, Madura Barat, 39 tahun lalu ini.

Mantap dengan tarikan jiwa ke dunia seni, setamat SMP di Pesantren Modern Darul Ulum Jombang, Farid meneruskan studi ke Sekolah Menengah Seni Rupa, Jogja. Di sini, hasrat berkesenian pun memperoleh wawasan akademiknya. Seni sebagai wujud kebebasan, dipertajam dengan pendidikan sebagai landasan pengembangan diri.

Lulus SMSR, Farid muda sudah menjelajah berbagai wilayah negeri sendiri, dari Sumatra hingga Bali, tak kurang dari 16 kali pameran tunggal dan puluhan pameran bersama, termasuk di Kyoto (Jepang) dan Den Haag (Belanda).

Suami dari Carsikem – gadis Majalengka yang akrab disapa I’ik ini, dalam usia muda sudah punya impian memiliki galeri, museum seni serta menebar semangat seni ke seluruh dunia. Sejauh ini, dunianya adalah seni.

Sampai suatu ketika, saya memperkenalkan wacana baru: seni untuk kemanusiaan. Saya suka menulis, Farid menjadikan senirupa sebagai penghidupan. Bisakah, dua kekuatan ini berpadu untuk kemanusiaan? Momentumnya, krisis pangan dan keamanan di Somalia, Afrika Timur. Saya membayangkan, sketsa goresan Farid, akan meneguhkan pesan perdamaian dalam bahasa universal. Tentu ada risiko, tapi peluang ini akan berdimensi luas.

Menurut saya, hal ini akan mengubah dunia kemanusiaan, menjadi punya piranti baru dalam berjuang. Juga, dunia pada umumnya, di mana manusia juga beragam hasrat, melalui senirupa, diharapkan bisa memahami, berempati dan mendukung pemulihan krisis kemanusiaan di Somalia. Ini sekaligus mengubah jalan hidup seorang Farid. Siapkah Farid?

“InsyaAllah gak masalah, Mas. Saya siap ikut arahannya. Apalagi, kemampuan saya dianggap memiliki manfaat tidak sebatas untuk dunia seni saja. Tapi mungkin saya perlu waktu untuk memberi pengertian kepada keluarga.” Begitulah, hari-hari sejak mendapat tawaran ini, Farid mulai sibuk meyakinkan keluarga. Kendala terberat, sikap ibundanya yang sempat menggugat pilihan Farid.

“Untuk apa jauh-jauh ke Somalia. Kalau hanya cari uang, kenapa susah-susah ke tempat orang-orang berperang? Apa kamu tidak memikirkan perasaan keluargamu? Bagaimana kalau kamu nanti kenapa-kenapa?”

Farid dengan sabar menjelaskan pilihannya. Kalau soal mati, di rumah pun kalau Allah berkehendak, nyawa kita bisa dicabutNya. “Saya juga tidak mencari nama apalagi mencari mati.” Sang Ibu merestui, satu urusan selesai, menyusul satu lagi yang harus disapa: komunitas masyarakat Madura di Jakarta dan sekitarnya. Kenapa?

“Saya satu di antara sedikit anak Madura di rantau yang hampir selalu diminta saran dan perannya dalam urusan seni, setiap kali masyarakat Madura berkumpul. Dari urusan dekorasi sampai musik pengisi acara. Bahkan setiap saya berpameran, minta restu sesepuh masyarakat Madura di rantau. Maka, kali ini ketika saya ke Somalia, saya merasa wajib pamitan dan membeberakn rencana besar kami bersama Komite Indnesia untuk Solidaritas Somalia,” ungkapnya.

Maka, tatkala rencana sowan ke sesepuh masyarakat Madura di Jakarta sudah pasti waktunya, saya diminta menemani Farid. Subhanallah, sambutannya sangat baik. Dukungan moral serta-merta disampaikan sekretaris jenderal IKAMA (Ikatan keluarga Madura), Haji Syafe’i, salah satu pengusaha besi bekas papan atas di Jakarta. tak hanya itu, saat pelepasan Tim KISS-III, di mana Farid Shan salah satunya yang akan berangkat, beliau menugaskan empat pengurus IKAMA mewakilinya.

Kini Farid benar-benar menginjakkan kaki di Afrika Timur, setelah transit di Dubai – kota bisnis internasional di wilayah Uni Emirat Arab, melalui Nairobi sebelum akhirnya menjejakkan kaki di Mogadishu, ibukota Somalia. “Mimpipun, saya tak pernah, akan melukis di Mogadishu atau Nairobi. Apalagi, melukis krisis kemanusiaan yang bahkan berisiko tinggi seperti ini. Masa sih, orang sedang perang, mau dibuat sketsanya? Ini sama sekali di luar rencna hidup saya. Saya betul-betul menguatkan diri untuk bisa berkarya terbaik, karena peluang ini tidak pernah diberikan kepada seniman lainnya,” ungkap Farid.

Meski sudah masuk kawasan Afrika Timur, Nairobi adalah Kenya, bukan Somalia. Ketika menuju perbatasan, sebuah wilayah bernama Garissa – ibukota provinsi Northeastern, juga masih di wilayah Kenya. Belum sah, bicara Somalia meski sudah bersua para pengungsi Somalia. Mogadishu, ibukota Somalia yang kondang itu, harus didatangi. Bagaimana Farid, lelaki Madura lembut hati itu, ketika mendarat di Mogadishu?

“Setiap langkah pada menit-menit pertama di Mogadishu, sejak di bandara internasional Aden Abdulle, hati saya tidak karuan. Pemeriksaan ketat, yang memeriksa terlihat sangar dengan senjata di tangan.  Apalagi, kami harus menunggu dua jam sampai barang-barang kami bisa diambil dari bagasi,” ungkap Farid.

Petugas penjemput, mitra dari Zamzam Foundation, Yusuf dan Taher, pengemudi, memang sigap membawa mobil menuju hotel sebelum ke kantor Zamzam Foundation. Sebenarnya, jaraknya amat dekat dari bandara, tapi pemeriksaan berlapis memakan waktu lama. Ketika keluar dari bandara, Farid mengaku makin stres.

“Saya kehilangan ketenangan, ketika melihat petugas bersenjata, menarik seorang perempuan yang tidak tertib dalam antrian pemeriksaan, sambil membuang tembakan ke udara. Saya tidak terima perlakuan seperti itu. Sepanjang jalan, saya hanya diam. Suasana kota di mata saya, amat mencekam. Anak-anak muda, mungkin baru belasan tahun, sudah petentang-petenteng membawa bedil. Satu dua, di beberapa persimpangan, di gedung dengan gerbang besi, sesekali melintas di mobil pikk up. Mengerikan. Sampai saya  bertanya-tanya, bisakah saya melukis di tengah perang?” urai Farid mengenang suasana batinnya saat pertama masuk Mogadishu.

Begitu masuk hotel, namanya Sahafi, gerbangnya dijaga petugas bersenjata, juga masih anak muda. Gerbang itu terbuat dari logam. “Kami masuk dari pintu belakang, menjelang pintu utama juga berlapis terali besi. Hotel dari luar nampak garang,” kata penyuka musik etnik ini. “Saya agak terhibur, setelah masuk hotel. Layanannya luar biasa ramah. Sikap itu menebar energi  positif. Pokoknya, begitu masuk hotel, saya merasa tenang. Beberapa kali, saya menuntaskan sketsa di kamar saja. Sekali membuka buku gambar saya, bisa dua tiga sketsa selesai. Tapi begitu keluar hotel, rusuh lagi perasaan saya. Apalagi saat diantar ke lokasi penempatan hewan kurban, di seberang pantai Mogadishu. Saya melihat lagi pemandangan garang para petugas sipil bersenjata,” urai Farid.

Farid, nampak benar perubahan sikapnya sejak masuk Mogadishu. Ia lebih pendiam. meski demikian, tak selamanya Farid tertegun-tegun dan menerawang. Ada saat ia sumringah.

“Yang membuat saya tenang, pengemudi kami bersama liason officer Zamzam Foundation, tanpa disangka-sangka, sesaat setelah meninjau lokasi hewan kurban, membawa kami ke pantai. Benar-benar di pantai di mana kami bisa menyentuh riak-riak gelombang yang menyentuh pantai indah Mogadishu. Sepanjang garis pantai, pasirnya putih. Ada masjid tua berwarna putih, di daratan terputus sehingga terkesan ada di pulau kecil, tepat di depan lokasi pengumpulan hewan kurban yang baru kami tinjau,” ungkapnya.

Keindahannya, luar biasa. Bersih, tenang tanpa hiruk-pikuk orang berjemur. Maklum, suasananya sedang kurang kondusif. Tapi ketenangan itu, menggugurkan ketegangan. “Kami bebas berfoto-foto, meski tetap dalam pantauan pengawal bersenjata. Teman-teman pekerja sosial lainnya dari ACT, DD dan PKPU sampai merasa iri, mereka sudah dua tiga kali ke Mogadishu belum pernah dbawa ke pantai, tapi kami yang baru sekali, sudah diajak ke pantai seindah ini. Kami bersyukur sekali,” ujar Farid.

Kesenangan Farid menyaksikan jejak kejayaan Islam di pantai Mogadishu, terusik lagi. “Kejadiannya, pada momentum pembagian daging kurban di Kamp Korsan, Region Banaadir. Saya melihat sendiri, petugas pengawalan memaksa seorang ibu masuk barisan antrian dengan memukulkan popor senjata. Hati saya tidak terima. Ngatur orang kok pakai kekerasan, mereka kan sedang kepanasan dan kecapaian juga dipanggang matahari selama antri!” protes Farid.

Melihat itu, Farid sempat menegur si petugas yang spontan meminta maaf. “Masak, habis dipopor, masih disabet tongkat yang dibawanya, keterlaluan,” ungkap Farid. Belum lenyap bayangan tak elok itu dari pelupuk matanya, perut Farid kesenggol moncong senapan yang ditenteng pengawal yang baru berusia belasan.

“Hei, hati-hati. Kalau meletus, bisa membunuh orang!”
“Maaf, maaf!” lalu senapan itu dibawa terbalik moncongnya menghadap tanah. Begitulah, pemandangan tak menenangkan yang nyaris menggerus kreativitas Farid. Sampai kapan ketaknyamanan itu akan menghambat gerakan tangan Farid untuk segera membuat sketsa?  Rupanya itu tak lama.

“Semangat saya untk membuat sketsa, muncul kembali setelah anak-anak pengungsi yang  sangat  bersahabat. Sebagian, tak lengkap anggota tubuhnya, konon terkena ranjau. Pengungsi dewasa juga lebih rileks. Meski kami berbeda bahasa, kami sadar sesama muslim, sehingga aktivitas penyampaian kurban, bantuan pangan, dan susu untuk anak-anak, melenyapkan keterasingan dan ketegangan. Ya Allah, saya baru beberapa hari sudah begitu cengeng, tegang, tak bisa berkarya. bagaimana mereka yang lebih lama, mengungsi, masa depan tak pasti, ancaman kematian hadir setiap saat entah karena lapar atau perang. Saat itulah, saya bisa berkarya, dan mulai bertekad menuangkan pandnagan mata kepala saya, dan perasaan batin saya dalam sketsa,” urai Farid.

Kini, kita tinggal menunggu karya lengkap Farid nanti, yang insyaAllah akan mejadi peace building tools, dalam kampanye perdamaian dan kemanusiaan untujk Somalia. “Saya tidak mau memungkiri, bahwa saya sempat tegang, bahkan ketakutan. Lebih bak saya menghadapi segerombolan orang membawa clurit, ketimbang menghadapi anak-anak usia belasan menenteng senapan kemana-mana seperti membawa mainan,” ungkapnya. Semoga, sketsa karya Farid Shan, benar-benar bekerja efektif menuju Somalia yang lebih baik.

<Dikutip dari http://www.itoday.co.id/sosial-budaya/sebuah-rasa-pemicu-karya>

Leave a comment