Antara Jawa dan Madura

ditulis oleh frans ekodhanto untuk koran jakarta

Seorang lelaki dengan mulut menganga dan mata terbelalak tampak sedang berusaha mengatur keseimbangan tubuh sambil mengendalikan sapi-sapinya agar tetap berlari dan berpacu. Joki itu berdiri di atas dua bilah bambu yang diseret dua ekor sapi bertubuh tambun.

Sapi bertanduk yang berlari kencang di atas kubangan lumpur itu pun berlari sekuat mampu. Orang Madura menyebutnya sebagai Karapan Sapi atau pacuan sapi. Semacam tradisi yang memberikan hiburan (tontonan) sekaligus menunjukkan status sosial seorang dalam kehidupan bermasyarakat.

Demikianlah penggambaran realis yang coba ditawarkan oleh Farid Shan, pelukis lulusan Seni Lukis, SMSR, Yogyakarta, di atas kanvasnya berjudul “Berpacu”. Tak jauh dari sapi yang berlari itu, tampak sekelompok orang sedang memanggul singa buatan di atas beberapa bilah kayu.

Lalu, satu orang di antara mereka duduk di atas singa, bak raja berwibawa sedang menunggang singa. Mereka memanggul sambil menari dengan ria dan semarak. Singa-singa tiruan khas masyarakat Subang, Jawa Barat, itu merupakan ungkapan semangat serta semacam ungkapan perlawanan atas penjajahan kompeni pada saat itu.

Oleh pelukis kelahiran 20 Agustus 1971 tersebut, praktik berkesenian itu ditangkap sebagai ide kreatif kemudian dituangkan di atas kanvasnya berukuran 120×240 cm dengan judul “Sisingaan”. Dalam perhelatan pameran tunggalnya di selasar Hotel Four Season, pada 12–31 Agustus 2014, bapak dua anak ini lebih mengetengahkan dua budaya dari dua daerah yang erat kaitannya dengan kehidupannya: Madura dan Jawa.

Itu artinya 65 lukisannya yang dibuat pada 2001, 2006, dan 2014 itu banyak menyoal dua budaya serta atribut-atributnya. Madura sebagai daerah asal, yaitu tempat kelahiran dan tempat yang merawat masa kecilnya, sedangkan Jawa merupakan tempat sekolah dan perantauan. Tengok saja tari Kecak yang berasal dari Bali serta tingkah seorang “pemaju” yang menari dengan penuh ekspresi di atas kanvasnya. Di dalam kanvasnya itu, warnawarni yang cerah, tegas, dan kental juga turut menari. Meliak-liuk mengikuti ekspresi.

Warna-warna yang berusaha bercerita tentang kedalaman dan ketenangan: hidup, budaya, dan karya. Mengenai teknis pengaryaan, seniman yang mengaku sudah menghelat pameran tunggal sebanyak 18 kali ini menyampaikan bahwa lukisan-lukisan yang ditampilkan itu dilukis dengan menggunakan kuas (konvensional) dan valet. Katanya, melukis dengan valet dimulai dari 2010 hingga sekarang.

“Kalau dari segi teknis, melukis pakai valet lebih sulit, tapi emosinya bisa tertuangkan. Yang pasti, setiap material memunyai kelebihan dan kekurangan. Hanya melukis memakai kuas lebih konvensional,” katanya. Sebagai pelukis, Farid juga pernah mengalami masa-masa sulit.

Katanya, ketika baru saja lulus sekolah, dirinya pernah tidak memiliki uang seperak pun. Hanya bermodal kertas dan pulpen yang dipakai untuk membuat sketsa. Kemudian, pada suatu pameran, sketsanya laku terjual. Dari sanalah kemudian dirinya mulai bangkit dan membeli berbagai pernak-pernik (kebutuhan) berkarya hingga sekarang. Farid juga menjelaskan bahwa dirinya pindah ke Jakarta pada 1996.

Itu artinya, sejak saat itu, selain melukis budaya Madura dan Jawa, dia kerap melukis gedung dan kota tua Jakarta. “Dari hasil jual lukisan, saya sudah bisa beli rumah. Lukisannya terjual dengan harga 4 juta–120 juta rupiah. Setiap pembeli biasanya saya berikan sertifikat yang sudah dibubuhi tanda tangan serta cap jempol,” paparnya.

dikutip dari http://koran-jakarta.com/?pg=berita_detail&berita_id=18652&menu_id=55

FARID SHAN – Sepanjang Hidup Menggores Kanvas

sepanjang hidup menggores kanvas

Ditulis oleh Iwan Kurniawan untuk media indonesia

Penggunaan warna biru di wajah manusia pada setiap karya lukis menjadi penanda Farid untuk mengingat orang-orang baik yang ia jumpai. Dari Madura, ia berkelana hingga Jepang.

SERAYA melepas ikatan rambut, Farid Shan, langsung menyibak rambut yang terurai panjang melewati bahunya. Pergelangan tangan dan ujung kuku-kukunya masih tampak bercat. Maklum, ia baru saja menyelesaikan lukisan semalam suntuk di rumahnya di kawasan Bojonggede, Bogor, Jawa Barat.

Tak lama berselang, Farid mulai bergegas membereskan sekaligus membungkus rapi lukisan-lukisanya. Satu per satu, karya itu ia naikkan ke mobil bak terbuka. Setelah tersusun rapi, ia bersama seorang sopir langsung tancap gas menuju lokasi pameran tunggalnya.

Siang itu, pelukis kelahiran Bangkalan, Madura, Jawa Timur, 20 Agustus 1971, ini menjadi orang yang paling sibuk. Ia tengah menggelar pameran tunggal ke-18 sepanjang menekuni profesi di seni rupa.

“Semua karya berakar pada tradisi Madura seperti karapan sapi. Saya juga memasukkan unsur Jawa seperti wayang,” ujarnya di sela-sela pameran tunggalnya bertajuk Ekspresi dan Estetika Rakyat dalam Kanvas di Four Seasons Hotel, Kuningan, Jakarta, Rabu (20/8).

Pameran itu menjadi hajatan spesial karena bertepatan dengan perayaan hari ulang tahun ke-43 Farid. Tak dimungkiri, kebahagiaan jelas terlihat dari kedua bola matanya saat berbincang-bincang dengan para tamu maupun rekan-rekannya.

Pada pameran tersebut, ia menghadirkan sedikitnya 65 lukisan, termasuk belasan sketsa. Perjalanan berkarya Farid secara profesional dimulai sejak ia menamatkan pendidikan pada jurusan seni lukis di Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) Yogyakarta (kini, SMKN 3 Kasihan, Bantul) pada 1991.

Selepas lulus, ia pun memutuskan untuk berkelana. Mulai dari melukis ala jalanan di Surabaya hingga melukis komersial di Bali.

Pengalaman melukis di Surabaya pada 1993, misalnya, masih ia kenang hingga kini. Saat itu, ia merasakan titik paling terendah dalam hidup. Pasalnya, saat hendak melukis, ia tidak mengantongi uang sepeser pun. Hanya ada pensil dan kertas putih yang tersisa di tas.

Tidak hanya itu, rasa dahaga dan lapar membuat Farid mulai mencari jalan untuk bisa bertahan di ‘Kota Pahlawan’ itu.

“Mau ke mana-mana tak punya uang. Jadi, saya hanya jalan kaki untuk menggambar sketsa.” “Mungkin orang yang melihat saya beranggapan saya gila. Makan juga sederhana sekali sehingga hidup menggelandang.

Itu menjadi titik awal yang membuat saya terpacu untuk bisa sukses kelak dengan pilihan (terjun) ke seni lukis,” ungkap lelaki yang belajar melukis pada usia 9 tahun ini. Ngutang Hidup mengutang menjadi pilihan.

Namun, Farid tetap berprinsip. Ia tetap melunasi utang-utang di warung nasi langganannya setelah beberapa sketsa laku terjual. “Mungkin orang yang membeli (sketsa) merasa kasihan kepada saya atau apa pun lah (anggapan) saat itu,” lanjutnya.

Dari Surabaya, ia pun memutuskan untuk mencari pengalaman hidup ke Bali. Di sana, ia banyak belajar tentang seni tradisi Bali. Tidak mengherankan jika beberapa lukisannya hingga saat ini masih terasa berdaya magis dengan khazanah budaya yang kental suasana Pulau Dewata itu.

Barulah, tepat pada 1996, Farid pun memutuskan untuk hijrah ke Jakarta. Ia melakukan keputusan itu agar bisa mendapatkan pengalaman tambahan. Di saat berada di Jakarta itulah, nasib membawanya pada sebuah peruntungan.

Keberadaan galeri-galeri bak jamur dan para kolektor tajir menjanjikan karya-karya nya laku terjual. Namun, di balik hidup di Jakarta, ada pergeseran dalam perjalanan berkaryanya. Pengaruh lingkungan sosial memang tak bisa ia hindari.

“Tanpa sadar lukisan saya lebih bermain pada nuansa bangunan. Padahal, saya bergelut dalam budaya Madura dan Jawa. Ini berlangsung beberapa tahun sebelum saya putuskan untuk kembali ke tradisi awal,” papar lelaki yang mulai berpameran sejak 1988 silam ini.

Ia selalu menggambar objek awal lewat sketsa. Ia melakukan pengendapan selama beberapa pekan sebelum ia tuangkan ke kanvas. Itulah cara melukis Farid yang masih konvensional. “Cara ini ampuh selama ini. Pengendapan memang jadi penting untuk bisa merenungi kembali unsur fi losofi nya,” papar ayah dua anak ini.

Meski sempat terpengaruh dengan kehidupan gemerlap Ibu Kota, Farid tetaplah seorang anak desa. Ia tetap memasukkan unsur tradisi Madura dan Jawa dalam mayoritas kekaryaannya. Tak hanya itu, ada sebuah ciri khas dari Farid dalam hampir seluruh karyanya. Itu terlihat pada objek wajah manusia yang berwarna biru.

Warna biru di beberapa lukisan itu ia sengaja hadirkan untuk menjaga keautentikannya. Tujuannya, sebagai bentuk dalam membedakan karyanya dengan karya orang lainnya. “Warna biru artinya ‘dalam’ dan ‘tenang’. Ini menjadi pegangan saya sebagai kiasan setelah berjumpa dengan orang-orang baik dalam langkah saya,” tuturnya sedikit berfilosofi .

Lewat ketekunan di jalur seni lukis, ia sempat menjadi duta Indonesia dalam International Show in Art of Graphic and Painting di Kyoto, Jepang, pada 1990. Delapan tahun kemudian, ia kembali dan berpameran di ‘Negeri Sakura’, tepatnya di Fukuoka.

Jalan menjadi seniman Farid pilih karena bakat alamnya. Ia pun semakin percaya bahwa seni bisa mendatangkan rezeki saat sebuah lukisannya laku senilai Rp120 juta pada 2003. Sejak itulah, rezeki semakin berdatangan. “Saya bisa beli rumah dan menyekolahkan anak. Seni itu menjanjikan asalkan kita serius dan tekun,” tegasnya.

Dunia seni selalu memberikan sebuah kemisteriusan tersendiri. Sepanjang hidup melukis, ada sebuah kisah yang sampai sekarang membekas dalam ingatan Farid. Baginya, pengalaman nahas itu semoga menjadi babak pertama sekaligus terakhir.

“Saya pernah melukis seorang dalang di Kediri. Beberapa saat kemudian, ia meninggal. Ini paling berkesan sehingga saya berharap jangan sampai terulang lagi seperti ini,” tuturnya dengan mata sayu.

dikutip dari http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/publications/mi/mi/2014/08/25/articlehtmls/farid-shan-sepanjang-hidup-menggores-kanvas-25082014012004.shtml?mode=1

 

Ruang Kesadaran Seorang Farid Shan

Tumbuh menyaksikan beragam kebudayaan Indonesia, kini ia gundah karena kekayaan itu justru dilupakan.
ditulis oleh Suci Dian Hayati untuk saravati.co.id

“Jika sebuah negara tak lagi memiliki kebudayaan, apalagi yang dia punya?” kata Farid Shan, seniman lukis kelahiran Bangkalan, pulau Madura yang kini sudah menetap di Citayam, Depok.

Bukan tanpa angin Farid berbicara tentang kebudayaan. Sepanjang kariernya di dunia seni, kurang lebih 23 tahun, ia selalu berbicara tentang beragam kebudayaan Indonesia lewat karya-karya lukisnya. Menurut pria berambut gondrong hingga sepinggang itu, goresan kuas di atas kanvasnya merupakan salah satu cara untuk ikut menjaga kebudayaan itu sendiri.

“Hal yang memilukan saat berbicara tentang pemuda Indonesia saat ini adalah mereka sama sekali tidak mengenal kebudayaannya sendiri,” katanya. Bahkan, tanpa disadari mereka justru menenggelamkan kekayaan itu hingga akhirnya punah, tak lagi dikenal.

Farid bahkan mengeluhkan kebutaan para seniman muda akan kekayaan budaya Indonesia. Ceritanya, seorang seniman muda ingin membuat karya seni yang berbicara tentang kebudayaan Indonesia. Tapi, ia justru kesulitan untuk menentukan apa yang akan ia buat. Bukan sulit memilih kebudayaan apa yang harus ia angkat, tapi kebingungan karena sama sekali tak memiliki ide tentang kebudayaan.

“Saya terkejut. Padahal ia tinggal menolehkan kepalanya ke kiri atau ke kanan, maka ia akan menemukan puluhan kebudayaan Indonesia. Ia justru sama sekali tidak tahu, ini menyedihkan,” katanya.

Selasa (12/8/2014) lalu, Farid yang pernah bergabung dengan Sanggar Bambu Yogyakarta dan dididik langsung oleh Soemadji itu, menggelar pameran tunggalnya yang ke-18 di Four Seasons Hotel, Jakarta. Mengangkat tema Ekspresi Estetika Rakyat dalam Kanvas, Farid menampilkan 65 karya dari rentang waktu 2001 – 2014. Cukup banyak untuk sebuah pameran tunggal. Padahal, tadinya kata Farid, ia telah mempersiapkan 70 karya untuk dipamerkan namun gagal karena keterbatasan ruang.

Memperhatikan karya-karyanya, hal yang paling menonjol adalah warna-warna terang dengan dominasi biru dan merah yang ia gunakan. Beberapa karakter dalam karyanya bahkan berkulit biru. Eit, bukan berarti Farid penggemar berat karakter Smurf. Namun, ada makna lebih dalam.

“Warna biru bisa diartikan karakter tersebut memiliki ilmu yang dalam seperti dalamnya lautan dan luas seperti langit. Jika dalam perbincangan kami, saya mendapatkan banyak ilmu baru dan kebijakan, maka karakternya akan saya beri warna biru,” ujar Farid yang kini berusia 43 tahun dan telah memiliki dua putri.

Selain itu, goresan-goresan kuasnya sedikit mirip dengan seniman besar asal Yogyakarta, Djoko Pekik. Ditambah dengan keberanian menggunakan warna terang. Namun, tetap saja ide-ide yang dihadirkan Farid sangat orisinal miliknya. Dan, keorisinalannya itu tetap terlihat di tiap-tiap karyanya.

Selain lukisan minyak, dalam pameran yang berlangsung hingga 31 Agustus ini, ia juga menghadirkan 10 sketsa. Yang menarik, karya sketsanya Farid tidak menggunakan media kertas biasa. Selain warnanya yang coklat, kertas itu juga memiliki ketebalan yang berbeda. Menurut Farid, ketebalan dan kerapatan pori-pori kertas itu cukup memudahkannya dalam membuat skesta menggunakan pulpen (pen) bertinta hitam. “Warnanya jauh lebih hidup ketimbang menggunakan kertas putih,” katanya.

Salah satu yang paling ia sukai adalah sketsa putri sulungnya bernama Sabrina, yang tengah menanti giliran untuk tampil di atas pentas menarikan tarian tradisional, Tari Merak. Lukisan berjudul Nunggu Giliran (2009) itu meski hanya dilukis menggunakan tinta hitam, namun tetap terlihat semarak dan hidup. Karya itu juga sukses menggambarkan beragam kekayaan budaya yang dimiliki Indonesia, karena selain Sabrina yang menggunakan busana penari Merak ada juga dua temannya yang sedang menontonnya menggunakan kostum tradisional lainnya.

“Saya hidup dalam beragam kegiatan kebudayaan. Wajar jika ingatan-ingatan itu mempengaruhi gaya saya dalam berkarya,” katanya.

Yuk, bagi Anda yang belum sempat mampir ke Four Seasons Hotel acara ini masih berlangsung hingga akhir bulan. Ajak serta keluarga terutama anak-anak Anda, karena ada banyak cerita keragaman budaya Indonesia di karya-karya lukis Farid. Dari budaya Bali, Jawa Tengah, Madura, hingga budaya panjat pinang selalu hadir di perayaan 17 Agustus.

dikutip dari http://www.sarasvati.co.id/exhibitiond/08/ruang-kesadaran-seorang-farid-shan/

Ekspresi Estetika Rakyat dalam Kanvas

Canvas Painting Exhibition by Farid Shan at Four Seasons Hotel Jakarta

Ekspresi Estetika Rakyat dalam Kanvas Aesthetic Expression of People on Canvas Painting Exhibition by Farid Shan

Dedicated to support and showcase arts and artists inspired by Indonesia, Four Seasons Hotel Jakarta invites both local and international artists to showcase their works around the hotel lobby area. Aiming to support Indonesian art and its talented local artists, Four Seasons Hotel Jakarta regularly invites Indonesian artists to collaborate in a solo or joint exhibition; however we also give International artists the opportunity to showcase their art works in the hotel. Periodically, more than 50 original paintings and photographs from local and international artists are artistically displayed around the hotel Lobby area to Seasons Café.

Entering the month of August and to celebrate 69th Indonesia’s Independence Day, Four Seasons Hotel Jakarta is collaborating with Farid Shan, a talented Indonesian artist for “Ekspresi Estetika Rakyat dalam Kanvas – Aesthetic Expression of People on Canvas”, a solo painting exhibition by Farid Shan from 12th – 31st August 2014.

Farid aspired to be a painter since early in his childhood. He started to learn painting at the age of 9 years old from his grandfather. Farid then joined Sanggar Bambu Yogyakarta under the guidance of Bapak Soemadji to continue to learn painting professionally. He has been actively holds single or joint exhibitions inIndonesiaand abroad since 1987.

In 1990, Farid was selected to representIndonesiain the International Exhibition Art of Graphic and Painting inKyoto,Japan.  Farid was also chosen to create sketches of humanity in several African countries in 2011. Farid’s paintings stress more on reflecting real life, full of tenacity, motion, colour and soul. Farid hopes that his 18th solo exhibition held in Four Seasons Hotel Jakarta can add more richness to the color of Indonesian art world.

Location: Jl. H.R Rasuna Said, Jakarta 12920. Indonesia

Website: http://www.fourseasons.com

quoted from http://whatsnewjakarta.com/content/detail/2007/Canvas-Painting-Exhibition-by-Farid-Shan-at-Four-Seasons-Hotel-Jakarta