FARID SHAN – Sepanjang Hidup Menggores Kanvas

sepanjang hidup menggores kanvas

Ditulis oleh Iwan Kurniawan untuk media indonesia

Penggunaan warna biru di wajah manusia pada setiap karya lukis menjadi penanda Farid untuk mengingat orang-orang baik yang ia jumpai. Dari Madura, ia berkelana hingga Jepang.

SERAYA melepas ikatan rambut, Farid Shan, langsung menyibak rambut yang terurai panjang melewati bahunya. Pergelangan tangan dan ujung kuku-kukunya masih tampak bercat. Maklum, ia baru saja menyelesaikan lukisan semalam suntuk di rumahnya di kawasan Bojonggede, Bogor, Jawa Barat.

Tak lama berselang, Farid mulai bergegas membereskan sekaligus membungkus rapi lukisan-lukisanya. Satu per satu, karya itu ia naikkan ke mobil bak terbuka. Setelah tersusun rapi, ia bersama seorang sopir langsung tancap gas menuju lokasi pameran tunggalnya.

Siang itu, pelukis kelahiran Bangkalan, Madura, Jawa Timur, 20 Agustus 1971, ini menjadi orang yang paling sibuk. Ia tengah menggelar pameran tunggal ke-18 sepanjang menekuni profesi di seni rupa.

“Semua karya berakar pada tradisi Madura seperti karapan sapi. Saya juga memasukkan unsur Jawa seperti wayang,” ujarnya di sela-sela pameran tunggalnya bertajuk Ekspresi dan Estetika Rakyat dalam Kanvas di Four Seasons Hotel, Kuningan, Jakarta, Rabu (20/8).

Pameran itu menjadi hajatan spesial karena bertepatan dengan perayaan hari ulang tahun ke-43 Farid. Tak dimungkiri, kebahagiaan jelas terlihat dari kedua bola matanya saat berbincang-bincang dengan para tamu maupun rekan-rekannya.

Pada pameran tersebut, ia menghadirkan sedikitnya 65 lukisan, termasuk belasan sketsa. Perjalanan berkarya Farid secara profesional dimulai sejak ia menamatkan pendidikan pada jurusan seni lukis di Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) Yogyakarta (kini, SMKN 3 Kasihan, Bantul) pada 1991.

Selepas lulus, ia pun memutuskan untuk berkelana. Mulai dari melukis ala jalanan di Surabaya hingga melukis komersial di Bali.

Pengalaman melukis di Surabaya pada 1993, misalnya, masih ia kenang hingga kini. Saat itu, ia merasakan titik paling terendah dalam hidup. Pasalnya, saat hendak melukis, ia tidak mengantongi uang sepeser pun. Hanya ada pensil dan kertas putih yang tersisa di tas.

Tidak hanya itu, rasa dahaga dan lapar membuat Farid mulai mencari jalan untuk bisa bertahan di ‘Kota Pahlawan’ itu.

“Mau ke mana-mana tak punya uang. Jadi, saya hanya jalan kaki untuk menggambar sketsa.” “Mungkin orang yang melihat saya beranggapan saya gila. Makan juga sederhana sekali sehingga hidup menggelandang.

Itu menjadi titik awal yang membuat saya terpacu untuk bisa sukses kelak dengan pilihan (terjun) ke seni lukis,” ungkap lelaki yang belajar melukis pada usia 9 tahun ini. Ngutang Hidup mengutang menjadi pilihan.

Namun, Farid tetap berprinsip. Ia tetap melunasi utang-utang di warung nasi langganannya setelah beberapa sketsa laku terjual. “Mungkin orang yang membeli (sketsa) merasa kasihan kepada saya atau apa pun lah (anggapan) saat itu,” lanjutnya.

Dari Surabaya, ia pun memutuskan untuk mencari pengalaman hidup ke Bali. Di sana, ia banyak belajar tentang seni tradisi Bali. Tidak mengherankan jika beberapa lukisannya hingga saat ini masih terasa berdaya magis dengan khazanah budaya yang kental suasana Pulau Dewata itu.

Barulah, tepat pada 1996, Farid pun memutuskan untuk hijrah ke Jakarta. Ia melakukan keputusan itu agar bisa mendapatkan pengalaman tambahan. Di saat berada di Jakarta itulah, nasib membawanya pada sebuah peruntungan.

Keberadaan galeri-galeri bak jamur dan para kolektor tajir menjanjikan karya-karya nya laku terjual. Namun, di balik hidup di Jakarta, ada pergeseran dalam perjalanan berkaryanya. Pengaruh lingkungan sosial memang tak bisa ia hindari.

“Tanpa sadar lukisan saya lebih bermain pada nuansa bangunan. Padahal, saya bergelut dalam budaya Madura dan Jawa. Ini berlangsung beberapa tahun sebelum saya putuskan untuk kembali ke tradisi awal,” papar lelaki yang mulai berpameran sejak 1988 silam ini.

Ia selalu menggambar objek awal lewat sketsa. Ia melakukan pengendapan selama beberapa pekan sebelum ia tuangkan ke kanvas. Itulah cara melukis Farid yang masih konvensional. “Cara ini ampuh selama ini. Pengendapan memang jadi penting untuk bisa merenungi kembali unsur fi losofi nya,” papar ayah dua anak ini.

Meski sempat terpengaruh dengan kehidupan gemerlap Ibu Kota, Farid tetaplah seorang anak desa. Ia tetap memasukkan unsur tradisi Madura dan Jawa dalam mayoritas kekaryaannya. Tak hanya itu, ada sebuah ciri khas dari Farid dalam hampir seluruh karyanya. Itu terlihat pada objek wajah manusia yang berwarna biru.

Warna biru di beberapa lukisan itu ia sengaja hadirkan untuk menjaga keautentikannya. Tujuannya, sebagai bentuk dalam membedakan karyanya dengan karya orang lainnya. “Warna biru artinya ‘dalam’ dan ‘tenang’. Ini menjadi pegangan saya sebagai kiasan setelah berjumpa dengan orang-orang baik dalam langkah saya,” tuturnya sedikit berfilosofi .

Lewat ketekunan di jalur seni lukis, ia sempat menjadi duta Indonesia dalam International Show in Art of Graphic and Painting di Kyoto, Jepang, pada 1990. Delapan tahun kemudian, ia kembali dan berpameran di ‘Negeri Sakura’, tepatnya di Fukuoka.

Jalan menjadi seniman Farid pilih karena bakat alamnya. Ia pun semakin percaya bahwa seni bisa mendatangkan rezeki saat sebuah lukisannya laku senilai Rp120 juta pada 2003. Sejak itulah, rezeki semakin berdatangan. “Saya bisa beli rumah dan menyekolahkan anak. Seni itu menjanjikan asalkan kita serius dan tekun,” tegasnya.

Dunia seni selalu memberikan sebuah kemisteriusan tersendiri. Sepanjang hidup melukis, ada sebuah kisah yang sampai sekarang membekas dalam ingatan Farid. Baginya, pengalaman nahas itu semoga menjadi babak pertama sekaligus terakhir.

“Saya pernah melukis seorang dalang di Kediri. Beberapa saat kemudian, ia meninggal. Ini paling berkesan sehingga saya berharap jangan sampai terulang lagi seperti ini,” tuturnya dengan mata sayu.

dikutip dari http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/publications/mi/mi/2014/08/25/articlehtmls/farid-shan-sepanjang-hidup-menggores-kanvas-25082014012004.shtml?mode=1

 

Leave a comment